Kamis, 20 Oktober 2011

Kesenian Sandiwara

Sandiwara Cirebon dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dengan sebutan "masres" pada tahun 1940-an, ketika Cirebon diduduki oleh kolonialis Jepang. Berdasarkan keterangan yang dihimpun para tokoh sandiwara Cirebon saat ini, disebutkan bahwa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, di daerah Cirebon muncul kesenian yang digemari oleh masyarakat yaitu reog Cirebonan, yang terkenal dengan nama reog sepat.

Pertunjukan reog itu terdiri dari dua bagian. Pertama berupa atraksi bodoran/lawakan, dan kedua berupa drama yang mengambil cerita dari kebiasaan masyarakat daerah tersebut. Pada saat bersamaan, di daerah Jamblang Klangenan muncul pula sebuah kesenian yang lazim disebut toneel (tonil) dengan nama Cahya Widodo. Kesenian ini setiap hari selama berbulan-bulan melakukan narayuda (ngamen).

Kedua jenis kesenian tersebut kemudian mengilhami seorang pemuda dari Kampung Langgen, Desa Wangunarja, Klangenan, Cirebon, yang bernama Mursyid untuk mendirikan kesenian baru di daerah Cirebon. Mursyid mengumpulkan para pemuda dari lingkungan sekitar untuk bersama-sama mendirikan perkumpulan kesenian yang memadukan reog sepat dan tonil Cahya Widodo. Kesenian ini adalah drama gaya Cirebonan dengan iringan musik yang didukung oleh waditra berlaraskan prawa. Kesenian perpaduan itu dinamakan jeblosan yang, menurut mereka, berarti "pertunjukan tonil tanpa layar tutup" (jeblas-jeblos; bahasa Cirebon). Selain itu, ada pula yang menyebutnya Bungkrek (bahasa Cirebon yang artinya bujang [pemuda] yang sering angkrak-engkrek [menari]).

Oleh karena jeblosan ini banyak dipengaruhi ketoprak/tonil/stambul Cahya Widodo, maka tidak mengherankan apabila cerita yang dibawakan pada waktu itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi adakalanya cerita diambil dari cerita rakyat Jawa Barat tentang asal-usul daerah atau dongeng-dongeng rakyat. Dalam perjalanannya, kesenian jeblosan ini sangat digandrungi oleh masyarakat. Walaupun pada waktu itu seluruh pemainnya kaum pria, namun mayoritas mereka adalah pejuang kemerdekaan. Dalam kesenian inilah tercipta media penerangan sekaligus perjuangan melawan penjajah melalui lakon-lakon yang dimainkannya.

Pada 1946 di Desa Kebarepan, Kecamatan Plumbon, Cirebon berdiri pula kesenian sejenis dengan nama langendriyo, yang diprakarsai oleh Suwandi dan Mursyid, Desa Barepan. Langendriyo dan jeblosan ini hampir sama dengan tonil Cahya Widodo, meskipun ada perbedaan dalam bahasa penyampaiannya. Pada langendriyo, cerita disampaikan dalam bahasa Jawa dan pada jeblosan dipakai bahasa campuran antara bahasa Jawa Cirebonan dengan bahasa Jawa.

Pada 1949 sarana langen jeblos mulai ditingkatkan, yaitu menggunakan panggung. Nama jeblos diganti dengan langen perbeta yang berarti lasykar (bahasa sandi), Persatuan Bekas Tentara. Dan pada tahun lima-puluhan namanya diganti lagi dengan Sari Sasmita yang berfungsi sebagai media penerangan. Kejayaan Sari Sasmita mulai terlihat. Dari malam ke malam, pada setiap musim hajatan, kesenian tersebut tidak pernah istirahat memenuhi undangan masyarakat penggemarnya.

Pada 1952 di Desa Bojong Wetan, Kecamatan Klangenan, berdiri pula kesenian sejenis dengan nama sanpro (sandiwara proletar). Pendirinya adalah H. Abdullah, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala desa setempat. Kemudian, pada 1956, berdiri pula perkumpulan sandiwara di daerah Bedulan, Desa Suranenggala, Cirebon Utara, dengan nama yang dikenal sekarang, yaitu masres (nama sejenis benang yang dipakai untuk membuat jaring ikan). Salah satu pendirinya adalah Ibu H. Sami'i yang dikenal sebagai pesinden Cirebonan. Dan, pada 1956, partai-partai politik mulai melirik kesenian sandiwara tersebut untuk media kampanye bagi kepentingan masing-masing. Maka di Desa Bojong Wetan, Kecamatan Klangenan Cirebon, para tokoh Partai Sosialisme Indonesia (PSI) mendirikan perkumpulan seni sandiwara menggantikan sanpro dengan nama Setia Budhi. Tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)-nya, mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Suluh Budaya. Sementara tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)-nya, mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Dharma Bhakti. Perkumpulan-perkumpulan ini hanya bertahan hingga tahun 1965 dan ketika meletus Gerakan 30 September (G-30-S/PKI) grup-grup ini bubar karena amukan massa anti-PKI. Sejak saat itu fungsi sandiwara, juga kesenian-kesenian lain, tidak lagi didampingi oleh kepentingan partai politik.

Pada tahun 1970-an sandiwara Cirebon mengalami masa kejayaannya, karena banyak sekali yang menanggap kesenian ini. Maka tidak mengherankan jika di daerah Cirebon saat itu banyak bermunculan kelompok/grup sandiwara di setiap desa dan kecamatan. Sandiwara Cirebon hingga kini masih hidup di masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Kehidupan kesenian ini tidak terlepas dari dukungan para pendukungnya, yang masih membutuhkan seni pertunjukan tersebut sebagai pengiring dalam upacara-upacara inisiasi, katarsis dan simpatetik magis (perkawinan, khitanan, kaul, dan lain-lain).

Alat musik yang dipakai dalam sandiwara Cirebon adalah gamelan pelog dengan waditranya antara lain bonang, kemyang, saron, titil, penerus, gong besar dan kecil, kendang, dogdog dan ketipung, tutukan, kenong (jenglong), kecrek, seruling, dan gambang. Dalam perkembangannya belakangan ini, unsur-unsur musik modern ditambahkan, antara lain alat-alat musik modern, seperti kibor dan gitar listrik. Sedangkan perlengkapan lain dalam menunjang pertunjukan sandiwara Cirebon antara lain properti, layar, dan dekor.

Dalam pertunjukan sandiwara Cirebon saat ini, banyak ditampilkan cerita yang diambil dari babad Cirebon, seperti lakon Nyi Mas Gandasari, Pangeran Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, Tandange Ki Bagus Rangin, Pusaka Golok Cabang, dan lain-lain. Sekalipun demikian, sandiwara Cirebon kadangkala menampilkan cerita dongeng atau legenda masyarakat Jawa umumnya, terutama pada pertunjukan berlangsung siang hari. Namun pada malam hari, cerita yang ditampilkan kebanyakan diambil dari babad Cirebon hingga tuntas menjelang pagi. Oleh karena sifatnya yang egaliter, sandiwara Cirebon banyak mempertunjukkan pula kemasan-kemasan musik dangdut Cirebonan, atau kadang-kadang tayuban sebagai selingan dalam suatu lakon pertunjukan. Pertunjukan sandiwara Cirebon pada malam hari biasanya dimulai pada pukul 20.00 dan selesai pada pukul 03.30 dinihari. Struktur pertunjukan sandiwara Cirebon adalah sebagai berikut: musik pembuka (tatalu); adegan gimmick (surpraise dengan trik panggung, berupa kembang api); tarian pembuka; pertunjukan lakon sandiwara; penutup, dengan musik dan epilog pimpinan sandiwara.
http://portalcirebon.blogspot.com/2011/03/asal-usul-sandiwara-cirebon.html

Berikut ini adalah foto-foto dokumentasi sandiwara milik saya: 





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar